Laki laki itu sendiri, duduk di emperan stasiun kereta api Senen, pandangannya menerawang kedepan, matanya tampak tidak kosong, ada sesuatu yang menggilitik pikirannya. Pikirinya meloncat loncat dari satu masalah ke masalah lain. Pada waktu dia pertama kali duduk dalam hati dia berkata, betapa nikmatnya kalo saat ini bisa menunggu kereta api sambil duduk di kursi biru yang keras ada di emper stasiun daripada duduk menggelosor di pinggir kios, lalu pandanngnya meloncat ke sebuah keluarga, bapak ibu dan 2 orang anak yang masih kecil2 dan tampak sangat bahagia untuk bepergian, dia kembali berpikir betapa bahagianya keluarga itu entah apakah dia bisa sebahagia itu bila membawa istri dan anak2nya naik kereta senja yang suram dan hampir tampak kumuh, tetapi bersama keluarga bisa membuat suasana seburuk apapun bisa menjadi sebuah berkah, lalu lelaki itu tersenyum entah kenapa, mungkin suasana hatinya berubah melihat keceriaan keluarga kecil itu.
Pikiran laki2 itu kembali melayang, melayang kembali ke saat dia pertama kali masuk kuliah berpikir bahwa dunia bisa ditaklukannya, berpikir bahwa dia ditakdirkan untuk melakukan hal hal yang besar. Tapi stasiun kereta menyadarkannya bahwa dia hanyalah manusia biasa,hanya butiran air di lautan yang mungkin tidak mempunyai arti apa apa, menyadarkannya untuk selalu rendah hati dan mengingat pada Tuhan yang telah mengatur garis hidupnya, menyadarkannya bahwa dia hanya manusia biasa yang selalu tergantung kepada Tuhannya, tiba2 jerit kereta yang ditunggunya telah datang, hilang sudah segala sesuatu yang tadi ada dipikirannya, berganti kegembiraan untuk bertemu istri yang sangat dirindukannya.
journal perjalanan jumat 25 juni 2004, I miss Indah so much